Aku tidak bahagia, katanya dan dia duduk bertopang tangan ke dagu, rambut panjangnya yang digelung ke belakang, alis matanya seperti luruh di tarik perasaan yang selalu dia sembunyikan. Mengapa dia tidak bahagia, dia bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya.
"Aku tidak bahagia karena aku selalu hidup dan mengejar orang yang aku cintai, aku tidak melihat kepada orang yang mencintaiku". Dan aku mendengarkannya sambil mencatat:
Orang tidak akan berbahagia ketika dia berusaha hidup dengan orang yang sangat dia cintai? Dua kali kucoret kata "sangat" setiap kalimat ada sintaksis, tapi Aku selalu mendramatisir cerita. Aku hanya berharap dia lupa mengatakan "sangat mencintai
Aku batuk sebentar, lalu mencoba menatap wajahnya agar nampak serius
"Kamu tidak bahagia karena "selalu" mengejar orang yang kamu cintai itu bagus, kamu mencoba sebisamu mencapai keinginan. Tetapi tentu saja harganya mahal dan juga melukai perasaan"
Dan aku mencoba menarik sebatang rokok dan menyalakannya tapi tangannya menjangkau lenganku, sejenak aku ragu, tapi lalu aku mengangguk dan mengembalikan rokok ke saku. Angin malam berhembus. "Mari kita lanjutkan" kataku.
"Mengapa kamu memintaku menuliskan cerita ini, aku tidak perduli. Tetapi aku merasa panasaran mengapa orang akhirnya tidak pernah benar benar berbahagia." kataku.
Dia tersenyum:
"Karena kita ingin memiliki tanpa syarat, jika aku menerima Rinaldi walaupun aku tidak mencintainya aku akan mencoba belajar dan waktu akan merobah kita" katanya.
Aku menganguk: "Artinya kamu telah mengerti kebijaksanaan hidup itu tetapi demi waktu belum tentu juga kamu akan berbahagia, itulah sebabnya mengapa kita harus memiliki keyakinan. Dan kamu juga harus mempertimbangkan apakah itu adil bagi Rinaldi, aku telah membaca buku yang berjudul "mimpi mimpi Einstein" kataku.
Dia tertawa matanya menyipit seperti bulan sabit, giginya yang rapi bagai barisan mutiara terlihat hingga ke gusinya yang berwarna merah muda.
"Dalam hidup ini kita tidak serta merta menemukan orang yang benar benar kita cintai dan sekaligus mencintai diri kita. Kita harus belajar, mencintai itu bagus, dan begitu juga apabila kita dicintai, akan tetapi itu tidak cukup sebelum kita benar benar mencitai dan merasa dicintai...Maaf aku tidak yakin telah mengutip kata kata itu" kataku juga tertawa.
"Aku hanya ingin tahu keadaan kampungmu, dimana kamu tinggal, sungai, lorong lorong, jalan setapak dan kebun kebun kopi. Ceritakan hal itu karena aku membutuhkan latar cerita" kataku.
Dia tertawa: "Itulah sebabnya mengapa aku ingin sekali kamu ikut denganku ke sana" katanya. "Jangan kuatir, semua tiket aku yang tanggung"
Aku mencibir sambil tersenyum selama ini aku tidak butuh datang ke suatu tempat untuk menceritakannya. Aku sangat ahli dalam menggambarkannya, imajinasiku adalah kelebihan, sebuah anugerah"
"Jadi aku akan mulai dari sungai yang berliku lalu rumahku dan kamarku yang dindingnya berwarna magenta. Aku suka letak jendelanya karena jika kubuka gorden aku dapat mengintip bulan di atas bukit dan paginya aku melihat matahari di sisi utara"
Aku mencatat sambil berkata: "Melewati malam dan hari yang panjang...dan sungainya apakah ada pohon bakau?" tanyaku.
"Tidak ada pohon bakau. Sungainya berliku, aku dan orang tuaku menaiki speed boat, pohon pohon jingah berpucuk merah dan daun daun sagu yang melambai ditiup angin. Jika kami mampir di dermaga kayu akan terdengar suara burung" katanya.
Aku mencatat: Aku tidak perlu menulis narasi lagi, pikirku. Sungai itu jauh membelah di daratan, aku sangat mengenalnya. Dan tanpa phon bakau artinya sangat jauh dari lautan. Kurasa itu sudah lebih dari cukup untuk latar cerita sebuah kota kecil.Tetapi sebuah bukit yang dapat dilihat dari jendela sebuah kamar? Dimana tempat itu di daratan beribu ribu sungai? Apakah dia mau menyesatkan imajinasiku? Namun aku hanya mengangguk angguk, waktu masih banyak untuk meluruskan cerita, pikirku.
"Well malam ini cukup, aku akan keluar mencari makan. Kota Batam sedang gerimis, dan kadang berangin. Kita tidak bisa berharap melihat bintang, apakah kamu akan tinggal atau ikut?" kataku menawarkan.
"Aku ingin sekali ikut, tapi aku melihat kamu jauh lebih bahagia sendirian, lagian kamu ingin merokok" katanya menolak halus tentu saja sambil menyindirku.
Aku tertawa. Malam selalu di kafe. Malam selalu tertinggal di belakang. Malam ketika aku tertidur dan melupakannya.
cerpen, cerbung, drama dan tragedi
- Sitemap
- Disclaimer
- Privacy