Aku pernah hidup hanya separoh hati (bagian pertama)

Batam Island 1999

Bau lumpur bercampur aroma anyir kerang saat pertama aku mendarat di Pulau ini. Angin seolah memaksanya berjejal dihidung. Kami datang menggunakan perahu bermotor yang berlabuh dipantai kotor berlumpur hitam bernama Tanjung Uma. Ketika itu air laut sedang surut.

aku pernah hidup hanya separoh hati
ilustrasi

Kami datang berempat, hubungan kami semua adalah sudara sepupu, tiga laki laki termasuk aku dan seorang prempuan yang masih belum berumur 16 tahun.

Yang masih kuingat dengan jelas adalah senja mulai turun di tanjung Uma pulau Batam, bayang bayang memanjang dari pelantar dan demaga kayu yang berdiri diatas lumpur, tongkat tongkatnya hitam dan posturnya yang tua tampak begitu rapuh.

Benar, ketika kami berempat menaiki tangga kayu itu terasa goyah. Nona satu satunya cewek diantara kami nampak ketakutan menaikinya saudaraku yang berada dibawahnya membantunya naik.

Diatas tidak kalah memprihatinkan, papan lantainya disusun jarang jarang sehingga lumpur dibawahnya nampak berkilau diterpa cahaya matahari senja. Aku berfikir ini jauh lebih buruk daripada keadaan dermaga kayu dikampung.

Dikampung dermaganya dibuat di pinggir sungai, aromanya bukan lumpur tetapi bau kopra yang dijemur, papannya lebih tebal dan nampak berminyak namun disusun lebih rapat. Dikampung tidak ada orang yang menyambut kami dengan kebisingan dan menawarkan tiket tumpangan dengan harga yang mahal.

Bayangan pertama tentang Batam adalah tg. Uma. Kampung tua dengan rumah rumah yang dibangun dari kayu atau setengah batu.

Tetapi ketika kami mulai naik taksi mulailah terlihat pemandangan yang berbeda, gedung gedung hotel, pekik klakson dan teriakan orang batak yang menjadi kondektur, toko hingga pedagang kaki lima disepanjang perjalanan. Aku menebak nebak dimana nanti kami akan tinggal.

Ternyata kami membelok masuk sebelah kanan jalan yang sangat kontras, itu jalan setapak tanpa aspal. Taksi berhenti dan tidak mungkin masuk hingga kedalamnya. Memasuki jalan itu aku cukup heran jalan itu menurun dan kadang mendaki dengan rumah rumah yang dibuat seadanya di kiri dan kanannya. Jalannya sempit tidak beraspal kadang seperti undakan tanah liat yang terbentuk alami. Kini barulah aku menyadari setelah mengingat apa yang pernah kudengar: perumahan liar Batam!

Cukup jauh kami berjalan dan jalan itu semakin mendaki. Aku melihat Nona mulai kecapean dengan ransel cukup besar di punggungnya. Dua saudara sepupuku yang laki laki malah nampak biasa biasa saja.

Kami sampai sebuah rumah yang terbuat dari kayu, bertingkat namun nampak papan papan bangunannya yang telah banyak lapuk. Kami disambut seorang lelaki separoh baya berasal dari kampung kami, dia telah lama menetap di kota pulau ini rumah kayu ini dibangunnya di lahan liar perbukitan dekat dengan permukiman kontras dan bagus Jodoh Square. Dia hidup dari menyewakan kamar kamar dua bangunan rumah kayu dua tingkat itu, di depan rumahnya di sisihkan satu ruangan untuk menjadi warung untuk berjualan kelontongan pelanggannya tentu saja penghuni yang menyewa kamar kamarnya yang tentu saja terkadang berhutang terlebih dahulu.

Aku sudah membayangkan, tidak akan tinggal ditempat itu berlama lama, begitu mendapatkan pekerjaan yang bagus aku pasti akan mencari rumah kontrakan yang layak, atau bahkan membeli rumah dipermukiman yang layak. Tapi tentu saja aku harus bekerja keras terlebih dahulu

Cerita awal ini ditulis melalui mode HTML bukan compose cerita berikut akan ditulis melalui mode compose..Image link to Sofyan-Yaan (Bersambung)
https://www.tiktok.com/@editvlogtema

Posting Komentar

Silahkan berkomentar