Tahun tahun terasa sulit bagi penduduk desa desa di daratan Riau terutama di pedalaman Batang Tuaka- Gaung Anak Serka, tahun tahun abu abu bagai lukisan hitam putih di bingkai figura yang lusuh.
Sebelum aku dilahirkan waktu telah merambat bersama sejuta peristiwa, dan aku selalu tertarik dengan peristiwa yang telah berlalu. Aku bepergian dengan beban rasa ingin tahu dan bertemu dengan orang orang dari masa lalu itu pada setiap hari pekan, di pasar dan menemukan banyak kisah yang membuat pandanganku terhadap hidup dan dunia menjadi berberubah ubah.
Masa itu daratan masih ditutupi pepohonan yang menghijau, transportasi di lalui melalui sungai sungai laluan tradisional yang berliku liku bagai retakan jantung dan patahan hati menuju daratan. Seorang lelaki sebagai Kepala keluarga mendayung perahu yang muatannya beratapkan kajang (semacam atap lipat terbuat dari daun nipah yang di ayam dan dikeringkan) ada isteri dan anak anaknya di dalamnya, mereka tertidur dan hanya sesekali mendengar suara air menyeruak lembut dari suara dayung yang di kayuh terkadang ikatan dayung yang terbuat dari tali ijuk mencericit dan mengkeriyuk saat bergesekan dengan kedua tiang penyangganya.
Malam itu bulan dan bintang mengintai dari pepohonan di kiri dan kanan sungai sementara isteri dan anak anaknya tertidur di dalam perahu hanyut dalam buaian mimpi orang orang desa yang hanya ingin hidup sederhana dan berbahagia.
Ada pohon pohon jingah dan pucuk rumbia yang seakan membeku di pagut angin malam. Ada suara burung dan serangga malam meningkahi suara kecupak air dan gesekan dayung perahu. Namun sebagai kepala dan imam bagi keluarga tetap mendayung perahunya, dan jika ada salah seorang anaknya terbangun dia menghentikan dayungnya dan memintanya untuk kembali tidur. Perjalanan dengan perahu pinjaman dari keluarga ini bisa memakan waktu berhari hari dan bermalam malam dengan segala risikonya. Namun demikianlah yang terjadi pada masa itu. Impian hidup berhagia walau sederhana mendorongnya untuk terus mendayung dan mendayung hingga sampai ke tanah impian.
Jika hari telah siang dan si kepala keluarga merasa harus isitirihat maka ia akan menepikan perahu kemana saja lalu menambatkan talinya ke dahan pohon alot di tepi sungai lalu masuk kedalam atap kajang untuk makan dan istirihat tidur. Isterinya akan memberinya tempat dan menemani anak anak mereka bermain sambil melihat alam sepi di sekeliling mereka. Jika ada perahu bermotor melintasi mereka akan senang sekali melihatnya dan aroma minyak terhidu menimbulkan sensasi kesenangan yang berbeda. Anak anak itu akan senang sekali melihatnya sampai perahu bermotor itu hilang di kejauhan.
Dan ketika sang Ayah terbangun, dia akan kembali ketempat mendayung perahu, tidak berhenti walau perlahan siang bergeser menuju malam...
Tetapi malam itu belum berakhir saat dia mendayung ada perasaan yang berbeda semacam firasat merasuki dirinya, benar saja tiba tiba lampu senter berseliweran dan beberapa perahu meluncur terpisah ke arah perahunya. Sontak dia menghentikan perahunya dengan perasaaan getir dan kuatir. Sungai sepi pada dini hari tiba tiba menjadi ramai, oleh delapan orang perampok sungai!
Isteri dan anak anak terbangun, jantung mereka seperti mau copot ketika mendengar suara sejumlah lelaki seperti orang berdebat dan bertengkar. Sang isteri memeluk ketiga anak anaknya, dua bocah laki laki dan satu anak prempuan usia 3 tahun. Lelaki itu berusaha segala upaya menyelamatkan keluarganya dengan dayung dan parang yang dia bawa, terjadi keributan di tempat yang sepi itu, suara benturan dan teriakan dan tangis anak anak dan isterinya perlahan menghilang menjadi musik kematian.
Kematian yang sepi dan tidak di kenang!
Aku membayangkan bulan menyipit di pucuk pucuk rumbia, dan angin malam yagn durjana membeku. Pagi hari berikutnya tempat itu sepi ada perahu mengapung mengikuti arus pasang surut sungai diantara daun daun yang menunduk berselimut embun. Kini Mereka semua telah tiada...
Semenjak itu cerita keluarga itu hilang, tinggal cerita bahwa mereka bermaksud pindah ke sebuah desa di hulu sungai untuk memulai hidup baru karena di tempat asal mereka mengalami kesulitan hidup. Keluarga itu ingin mengikuti jejak teman temannya menjadi petani kopra dengan harapan hidup dan masa depan yang indah...
Harapan yang mungkin hanya akan mereka temukan pada saat berkumpul di sorga.
Harapan yang tidak ada di dunia nyata ini.
Desa Belantaraya tahun 1965..Riau Daratan.
Rabu adalah hari pasar, dan seperti biasa pada hari pasar perahu perahu dan kapal kayu bermotor bersandar di dermaga kayu yang penuh tali temali. di atasnya terdapat los los pasar tempat para pedagang keliling menjual ikan dengan suara riuh rendah menawarkan dagangan masing masing, bau pasar yang anyir bercampur dengan aroma lumpur.
Pada saat air pasang perahu perahu dengan muatan silih berganti menepi, bau minyak tanah dan solar tercium hidung dari perahu perahu yang berayun ayun karena gelombang, air sungai berwarna teh tampak jernih.
Para lelaki muda dengan celana komprang dengan baju lengan panjang kain bahan kadurai tampak rapi dengan memasukan baju ke dalam celana mereka. Sementara yang lebih tua masih banyak yang mengenakan kain sarung dan berkopiah.
Para wanita muda tampak cantik dan anggun mengenakan kebaya dengan kancing berwarna emas berjalan sambil memegang lengan kiri ibu mereka melenggang melewati para pedagang kaki lima yang berteriak teriak menawarkan dagangann mereka.
Hari pasar adalah hari berbelanja untuk memenuhi kebutuhan hidup orang desa selama seminggu. Hari pasar dimana toko toko yang di bangun dari kayu menjadi ramai bukan hanya oleh transaksi jual beli. Tetapi juga peristiwa peristiwa lain dimana juga terkadang para remaja memiliki kesempatan untuk mengenal lawan jenisnya.
Dan jika ada pertunjukan tempat tersebut akan segera menjadi kerumunan penduduk karena menarik perhatian. Dengan cara demikian mereka mengalihkan rutinitas selama seminggu yang yang yang penuh dengan kegiatan yang rutin.
Dan diantara keramaian itu tampak seorang gadis dengan berpakaian sangat sopan untuk ukuran masa itu, berkebaya bermotif batik bersih sedang berjalan sambil bergelayutan di lengan ibunya seorang wanita yang juga mengenakan kebaya dengan penutup kepala kemban berwarna hijau.
Hidungnya mancung dan senyumannya semanis gula jawa tidak pelak membuat banyak para lelaki di desa seperti mau meledak jantungnya. Sudah beberapa bulan ini dia menarik perhatian para pemuda dari yang halus, sopan hingga yang nekat. Namun semuanya dapat di atasi oleh sikapnya yang bersahaja. Nama panggilannya Juwita. Juwita si kembang desa.
Keluarga Juwita memang berasal dari jauh menurut penuturan mereka datang dari Sulawesi dan mencoba mencari peruntungan dengan membuka perkebunan kelapa walaupun hasilnya belum terlihat seperti harapan mereka, namun kebutuhan hidup mereka tampak terjamin. Tampaknya keluarganya memiliki modal untuk membuka kebun kelapa yang luas.
PINDAH KE HULU SUNGAI..
Suatu hari Ayah Juwita mengemukakan rencana baru untuk pindah lebih ke hulu sungai membuka kebun kelapa. Hutan disana masih luas bagi membuka perkebunan baru bersama pendatang pendatang lain dan mereka akan memiliki peluang untuk memiliki kebun yang lebih luas daripada di desa ini. Kebun kopra yang luas adalah impian penduduk desa untuk hidup mapan. Dengan memiliki kopra yang luas sebuah keluarga berpeluang besar suatu ketika berangkat ke Mekah naik haji.
Hutan hutan yang di buka menjadi perkebunan oleh para pendatang akan membentuk kelompok orang orang yang salin berinteraksi menjadi sebuah dusun kecil, dan sebuah dusun kecil akan di atur berdasarkan kesepakatan sekelompok orang salah seorang yang di pandang mampu akan diangkat menjadi kepala parit. Ya di sana hanya ada kepala parit yang di hormati dan disana nanti akan berdiri sebuah mushala, madrasah yang akan di urus oleh seroang ustazd. Anak anak mereka akan di didik dan terutama diajarkan tulis baca di dalam kelas. Semua bangunan itu di bangun dengan bahan kayu yang di olah menggunakan peralatan sederhana secara bergotong royong.
Rumah rumah akan bertambah di sela sela pepohonan kelapa, bambu dan semak belukar di tepi parit atau sungai kecil karena setiap orang ingin selalu hidup dekat dengan air sebagai sumber kehidupan dasar. Parit akan dibuatkan jembatan dan dermaga kayu secara bergotong royong untuk menambatkan perahu dan tempat mandi dan sekaligus mencuci pakaian. Nanti ibu ibu dan anak anak gadis mencuci pakaian sementara para lelaki pergi ke kebun setelah melewati jalan setapak yang di kiri dan kanannya penuh dengan semak belukar.
Rumah rumah juga di bangun dari kayu dengan tongkat tinggi dan tangga naik, ini berguna untuk menghindari banjir ketika hujan atau menghindari binatang buas. Ruangan di sekat untuk dijadikan kamar dan dapur, dan ruang tamu. Dapur masih menggunakan kayu bakar dengan tungku besi batangan. Perbedaan orang mampu tidak akan terlihat kecuali jika rumah dan perahu mereka telah di cat berwarna warni.
Pada hari tertentu mereka akan bepergian ke desa terdekat untuk berbelanja kebutuhan seperti beras, minyak goreng dan ikan. Mereka pergi menggunakan perahu atau berjalan kaki.
Itu memang sebuah kampung yang kecil dan terpencil, tetapi itu akan menjadi sebuah kampung sedang dan lambat laun jalan jalan menuju desa terdekat akan semakin lebar karena seringnya di lalui, apalagi setelah sebagian dari mereka mulai membeli sepeda, mereka dapat mencapai pasar desa lebih cepat pada musim kemarau. Namun jika musim hujan tentu saja sulit mengenderai sepeda karena jalan cenderung berlumpur dan menjadi becek.
Kelahiran lebih cepat daripada kematian. Namun kematian terkadang datang lebih tragis dan menyakitkan daripada yang dapat kita bayangkan.
TRAGEDI DI DUSUN HULU
Disanalah kemudian keluarga Juwita tinggal dengan tenteram, hingga suatu hari mereka bermaksud mengunjungi keluarga jauh dari desa lain yang sedang mengadakan hajatan pernikahan anak prempuan mereka.
Pada masa itu musim panas mendekati kemarau telah tiba, orang orang tua di kampung entah darimana belajarnya mengerti cara menghitung musim untuk bercocok tanam. Dan di musim kemarau air sungai kecil menjadi surut dan tidak memungkinkan melakukan perjalanan menggunakan perahu. jadi keluarga itu memutuskan melakukan perjalanan dengan berjalan kaki.
Berjalan kaki ke rumah kerabat yang sedang melakukan hajatan membutuhkan setengah hari perjalanan, mungkin bisa lebih. Namun mereka menikmati perjalanan itu. Dalam perjalanan mereka juga membawa bekal makanan dan minuman dan juga hadiah untuk mempelai berupa pakaian dan juga uang.
Perjalanan tentu saja terkadang harus melewati jalan setapak yang di kanan kirinya semak belukar, jalan perkebunan kelapa yang menelusuri parit parit dan jembatan. Namun juga harus melewati pinggiran hutan yang penuh dengan bekas kayu di tebang dan sisa pembakaran, sebelum memasuki dusun yang di tuju. Keluarga Juwita terdiam membisu ketika melewati hutan yang selama ini di desas desuskan angker. Ayah sebagai kepala keluarga berjalan di belakang dan menyuruh isteri dan kedua anaknya berjalan di hadapannya.
Tentu saja dengan tujuan agar lebih mudah mengawasi dan melindungi mereka dari hewan atau segala sesuatu yang tidak diinginkan jika menimpa keluarganya. Apalagi saat ini perasaan mereka sedang mencekam. Hawa dingin hutan menambah suasana jadi terasa aneh.
Benar saja, firasat mereka, dari balik semak belukar dan pepohonan muncul 6 orang lelaki. Wajah mereka sangar berjenggot. Rambut mereka panjang berpakaian, kebanyakan keriting dan awit awutan. Salah seorang dari mereka membentak sambil mengacungkan golok:
"Berhenti disana!" perintahnya
Semangat keluarga itu bagaikan terbang melayang. Adik lelaki Juwita mulai menangis ketakutan memeluk ibunya. Juwita sembunyi di belakang Ayahnya yang terlihat juga pucat pasi melihat jumlah orang yang menghadang mereka. Dengan cepat mereka mengerubuti keluarga itu, seorang lelaki menangkap Juwita yang tidak berdaya meronta karena tubuh dan lututnyanya terasa lemas.
"Ya Allah ampuni jiwa kami" mohon sang Ayah berkali kali.
"Jangan sebut nama Tuhan disini!" bentak salah seorang dari lelaki itu.
Yang lain malah menampar adik Juwita menyuruhnya berhenti menangis sambil mengarahkan golok ke leher ibunya. Ayah Juwita berlutut di tanah memohonkan ampun selembar jiwa mereka sekeluarga di bawah ancaman senjata parang yang tajam. Tetapi mereka memaksanya berdiri dan menyeret mereka ke sebuah tempat tersembunyi dimana ada sebuah bangunan tua seperti dangau besar. Disana semua benda berharga mereka berupa perhiasan dan pakaian di poroti.
Dan Juwita di seret ke kamar terpisah dan di sana dia berteriak teriak kesakitan. Lenguhan bejat dari lelaki lelaki tersebut dan jeritan anak dara yang kehilangan harapan. Hati kedua orang tuanya hancur mendengar teriakan putus asa tersebut tanpa henti berdoa kepada Tuhan namun doa doa mereka tidak merobah apa apa.
kejadian ini berlangsung menjadi neraka hingga 5 hari berturut turut. Perbuatan terkutuk sebagai pemuas nafsu itu terjadi berulang ulang selama itu. Sampai kedua orang tuanya tidak lagi mendengar Juwita menjerit seperti hari pertama peristiwa terkutuk menimpanya.
Hingga 5 malam durjana yang terasa begitu panjang menimpa hidup mereka. Mereka berhenti berdoa dan mulai berputus asa.
Teror demi teror dialamai oleh keluarga itu, diperlakukan seperti hewan dengan hanya sedikit makanan dan minuman yang diberikan. Anak lelaki tampak jatuh sakit karena tekanan mental dan ketakutan, wajah ayah dan ibu Juwita tampak kuyu karena kurang tidur dan kurang asupan makanan.
Setelah puas para lelaki perampok mengumpulkan keluarga itu dalam satu ruangan, demikian juga pada hari kelima tampak mereka mulai berkemas akan meninggalkan gubuk tersebut. Seorang yang bertubuh kurus dengan jari hilang memanggil anggotanya berkumpul. Mereka membanting tubuh Juwita yang sudah hampir tidak berpakaian hingga terduduk lemas hampir menjadi satu dengan ibu, ayah dan adik lelakinya. Mereka berpelukan dalam teror ketakutan yang tidak terbayangkan.
JANGAN BUNUH KAMI, BIARKAN AKU MENJADI ISTERI ABANG DAN BIARKAN KITA MENJADI KELUARGA
Si lelaki yang jari tengahnya buntung memberikan kode agar keluarga itu segera di eksekusi. Ibu dan Ayah itu bangkit dan bersujut meminta diampuni nyawa mereka, sementara Juwita dengan tubuh lunglai dan berlinang air mata mendekati salah seorang perampok yang paling muda:
"Bang biarkan aku jadi isterimu, biarkan kita menjadi keluarga. Tapi jangan bunuh kami" katanya memohon sambil menangis dan memeluk kaki lelaki itu.
Si lelaki tampak meragu dan jatuh kasihan. Akan tetapi belum sempat dia bereaksi, tiba tiba tebasan parang menebas leher Juwita. Pekikan dan jeritan pecah dari mulut kedua orang tuanya. Ibunya langsung jatuh pingsan. Darah muncrat ke wajah lelaki yang sedang di peluk kakinya. Dan tebasan itu kemudian menghunjam ke tubuh anak lelaki yang masih kecil. Ke tubuh ibunya, ke tubuh ayahnya. Dan setelah yakin semua korban korbannya meninggal para lelaki itu turun dari gubuk melalui tangga.
Sementara lelaki perampok paling muda masih terpaku memandang tubuh tubuh berlumuran darah itu. Ada perasaan menyesal dan tidak tega dihatinya, walau bagaimanapun dia juga hanyalah manusia biasa. Namun dia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya. Walau bagaimanapun dia harus mengerti jalan pikiran pemimpin mereka: Tidak boleh meninggalkan saksi hidup!
Lalu salah seorang dari mereka berteriak: "Lemparkan mereka kemari!"
Satu persatu tubuh itu di seret dan di jatuhkan dari gubuk ke bawah lalu di seret menjauh dari jalan setapak, kemudian disusun dan di tutupi daun daunan. Setelah pekerjaan terkutuk itu selesai. Mereka lalu pergi, pergi ke desa desa berikutnya.
Meninggalkan tubuh tubuh berlumuran darah di balik timbunan dedaunan. Tinggal suara jangkrik dan belalang meningkahi musik alam yang sepi ketika tiba tiba timbunan bergerak gerak, sebuah tangan masih berdarah terulur menyibak daun daun. Seorang lelaki dengan tubuh berlumuran darah bangkit menahan sakit, sang ayah masih hidup! Dari sanalah cerita ini bersumber.
Dengan hati hancur, marah, menahan sakit yang tidak terperikan dan juga hampir berputus asa dia mencari pertolongan walau hampir kehabisan darah akhirnya dia menemukan orang di tepi sungai yang membantunya pergi ke desa terdekat untuk mendapatkan perawatan dan melaporkan nasibnya sekeluarga kepada pihak polisi..
Gerombolan perampok tertangkap di Ujung hulu sungai setelah mereka sukses merampok beberapa rumah dan membunuh 3 keluarga. Duapulu tahun kemudian mereka telah bebas dan menjadi pedagang keliling dan berbaur dengan orang orang biasa dan berkeluarga. Saya baru berusia 15 tahun ketika salah seorang dari mereka yang kebetulan menjadi akrab dan kuanggap sebagai paman menceritakan kebiadaban masa lalu itu dengan penuh penyesalan. Dia menceritakan semuanya.
Lelaki itu kemudian hidup dengan bekas luka di fisik dan luka di jiwa yang tidak pernah dapat sembuh hingga ke akhir hayatnya, demikian juga dengan Ayah Juwita yang sisa hidupnya harus di lalui dengan penuh penderitaan sebelum akhirnya meninggal setelah 5 tahun peristiwa itu berlalu. Dia tidak pernah dapat menerima kenyataan bahwa keluarga yang dia cintai lenyap dalam sekejap mata di depan mata dan hidungnya. Dia selalu menyebut nama Juwita, nama isterinya, nama anak lelakinya.
Aku belajar dari kengerian peristiwa itu dari dua sisi. Dan pada akhirnya tidak ada bedanya lagi siapa pelaku dan siapa korban, waktu kemudian menjelaskan bahwa semuanya pada akhirnya menderita...
Dulu aku ingin sekali bisa melakukan perjalanan ruang waktu: Mengunjungi masa lalu dan terbang ke masa depan dan lalu kembali lagi ke masaku sendiri. Aku ingin sekali memiliki kemampuan itu, melihat peristiwa peristiwa yang telah berlalu dengan mata kepalaku sendiri dan melihat masa depan. Kini aku hanya ingin menjalani hidup di masaku sendiri, menikmatinya hingga ke akhir hayat. Dan kini semua itu terasa adil bagiku.
Aku merasa beruntung karena hidup pada zaman yang relatif telah stabil.